sebuah coretan,catatan kecil dari tanah argopuro

19 September 2007

Anak-anak Calon Penerus Bangsa ??

Pagi ini Trans TV menayangkan liputan anak-anak korban gempa yang terjadi di Bengkulu beberapa hari yang lalu. Ironis memang. Anak-anak yang seharusnya bermain dan bergembira dalam keceriaan mereka, tidak terlihat dalam tayangan tersebut. Yang ada adalah anak-anak yang berdiri ditengah jalan meminta sumbangan pada para pengendara yang lewat. Entah karena bantua pemerintah yag tidak sampai didaerah itu, atau kurangnya distribusi bantuan. Yang jelas anak-anak tersebut berdiri ditengah jalan tanpa pengawasan orang tuanya.

Pemandangan seperti itu tidak hanya dapat kita temukan di daerah Bengkulu yang baru saja terkena gempa. Anak-anak yang bekerja mencari uang (atau dijadikan objek pencari uang) dapat kita temukan disekeliling kita, dimana kondisi kontras dapat kita temukan di daerah perumahan yang bersentuhan langsung dengan mereka. Ibu-ibu atau bapak-bapak yang sibuk membicarakan mau membelikan buku ini itu, sekolah mana atau kursus yang terbaik bahkan hadiah apa yang akan mereka berikan apabila aak mereka berprestasi.


Bukan hal yang ditayangkan Trans TV tadi pagi, kisah yang berbeda. Tentang bingkai potret muram anak-anak yang harus berdiri ditengah jalan diantara terik matahari untuk sekedar mendapatkan uang dari para pengendara kendaraan yang lewat. Walaupun mereka sangat senang dengan uang yang mereka peroleh setelah berdiri seharian ditengah jalan dengan kisaran 20-25 ribu rupiah. Sangat berarti memang bagi mereka. Atau bagi anak-anak pengemis disetiap jengkal terminal maupun pelabuhan di negeri ini atau perempatan yang biasa kita lewati, anak-anak yang tidak bisa sekolah, anak-anak yang tiap hari berjuang dijalan (bahkan harus bertemu dengan namanya kekerasan), atau anak-anak yang menderita busung lapar di pulau seberang. Kekontrasan dapat kita temukan lagi, dimana didaerah perkotaan uang sebesar segitu dipakai anak-anak yang mampu untuk sekedar jajan atau main playstation.

Pernah kita terkaget-kaget dengan tayangan anak-anak yang bunuh diri dikarenakan masalah sepele. Malu karena tidak bisa membeli seragam baru, buku baru atau karena diejek teman-temannya sebagai anak tukang bubur. Sangat memprihatinkan memang. Karena sebuah kekontrasan yang ada membawa sebuah hasil yang menyedihkan. Hilangnya nilai "empati" yang dimiliki anak-anak. Lalu kalau kita bertanya, salah siapakah ini ? Pemerintah, lingkungan, atau kita sebagai orang dewasa ? Bukankah kita sering lupa mengajarkan kepada anak-anak nilai -nilai yang mencakup tentang rasa empati, penghormatan kepada sesama manusia ? atau bahwa miskin karena bekerja sebagai tukang bubur jauh lebih terhormat dibandingkan kaya raya tapi hasil dari korupsi, bukan kerja keras.

Mungkin kita perlu menekan pemerintah untuk bergerak supaya memperbaiki nasib anak-anak indonesia. Agar mereka semua mendapat hal yang sama, setara. Pendidikan yang layak, kehidupan yang layak dan perkembangan hidup yang normal. Atau dapat kita mulai dari diri kita, lingkungan kita. Yaitu dengan mendidik anak lebih baik atau menjadi orang tua asuh dan sebagainya.

Kalau tidak, bagaimana nasib bangsa kita ini? bukankah anak-anak calon penerus bangsa ? dimana merekalah yang nantinya menentukan perjalan bangsa ini, Indonesia.

2 komentar:

A. Mommo mengatakan...

iya,,, ayo kita kampanye agar mereka bisa menjadi pejuang tangguh

adekjaya mengatakan...

yuk..kampanye..sip..perjuangkan nasib anak-anak indonesia !!