“ Sejauh-jauhnya burung terbang, akhirnya akan kembali kesarangnya” (pepatah Tionghoa) Umat Islam sebentar lagi merayakan hari raya idulfitri. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap hari raya, banyak sekali orang yang kejangkitan “Rindu mudik”. Pada saat kita rindu mudik, kita teringat akan kampung halaman dan orang-orang yang kita kasihi. Kita teringat kampung halaman, orang tua, dan masa-masa yang indah diwaktu kecil. Mungkin masih dalam ingatan kita, ketika masa sekolah SD, SMP kita nonton bioskop, mancing ikan di empang atau disungai, bermain pada waktu hujan turun. Memang kalau dibandingkan dengan permainan anak-anak jaman sekarang ini, tidak ada apa-apanya. Tapi, coba lihat dalam hati kita, masa tersebut mempunyai nilai yang sangat indah dan tidak terlupakan.
Di Eropa, penyakit rindu mudik ini lebih dikenal dengan sebutan "penyakit orang Swiss". Masalahnya sejak abad ke 15 banyak sekali pemuda Swiss yang bekerja sebagai tentara bayaran disejumlah negara Eropa, termasuk Vatikan yang memperkerjakan orang swiss sampai sekarang. Kelemahan dari para serdadu Swiss ini yaitu mereka sering sekali rindu mudik. Hal itu membuat mereka sering sekali pergi tanpa pamit atau bunuh diri. Maka pada abad ke-18 di Perancis orang akan dihukum mati apabila berani menyanyikan atau bersiul lagu kampungnya orang Swiss "Kuhreihen " (Ranz de Vaches). Kenapa? Mereka takut para serdadu bayaran mereka minggat.
Kata mudik diserap dari kata udik, yang berarti desa atau jauh dari kota. Mudik berarti kembali ke udik, ke asal usul kita. Rindu mudik atau yang lebih kerennya dikatakan Homesick dalam bahasa Inggris bisa disamakan juga rindu akan masa lampau-Nostalgia.
Mungkin kita bisa merasakan kehidupan yang jauh lebih nyaman dan lebih berlimpah ditanah orang, tetapi materi tidak akan bisa menggantikan maupun mengisi kekosongan ataupun kesepian diri dan batin kita. Pada saat kita mudik, kita bisa men-charge kembali batin dan kekosongan kita. Kita bisa mendapatkan kembali siraman-siraman rasa kasih dari orang-orang disekitar kita untuk menhilangkan kegersangan, kekosongan maupun kesepian kita pada saat di tanah rantau. Walaupun hanya seminggu kita berada di kampung halaman, hal ini sudah dapat mengembalikan kembali keseimbangan jiwa kita.
Siapapun kita, baik pejabat tinggi, direktur, pengusaha, atau yang lain ketika kembali dikampung halaman sendiri kita dapat menghayati kembali makna kedudukan sebagai adik, paman, keponakan, saudara maupun anak. Disitulah kita dapat merasakan kembali kasih sayang yang tulen, bukan hanya sekedar basa-basi. Dengan tinggal beberapa saat saja dikampung halaman, kita dapat menyadari kembali makna sosial dari tetangga, sahabat ataupun saudara. Jadi bukan hanya sekedar sebagai orang lain yang tinggal di seberang rumah atau disamping meja kerja seperti yang dihayati dikota. Dikampung halaman, kita bisa menemukan kembali harkat dan nilai kemanusiaan kita lagi.
Makna yang paling utama dari mudik adalah menjaga tali silahturahmi. Dari Silahturahmi inilah timbul rasa kebersamaan, kekeluargaan, persatuan dan kesatuan. Sehingga kita bisa merasakan kembali hidup dalam kerukunan, atau rukun dalam kehidupan. Pada saat kita mudik, kita bisa menjaga silahturahmi dengan kerabat atau lebih jauh lagi kita bakal tetap ingat kepada asal muasal kita.
Selamat mudik, selamat menjaga tali silahturahmi
Nb : Kenapa orang Jawa lebih sering rindu mudik? Mungkin karena dalam bahasa jawa, kata "dalem" berarti saya dan kata "dalem" itu juga memiliki arti dengan "tempat tinggal", Barangkali…
hoi mbak c-bonx..sampean ra muleh Republik..mudik..mudik..
1 komentar:
hayu atuh, diantos tuh ku lembur :D
Posting Komentar